Rabu, 04 November 2009

PEMBAHASAN DAN TUJUAN MEMPELAJARI FIQH - USHUL FIQH

OBYEK PEMBAHASAN DAN TUJUAN


MEMPELAJARI FIQIH DAN USHUL FIQIH


1. OBYEK FIQIH DAN USHUL FIQIH

Mempelajari Ilmu Fiqih besar sekali faedahnya bagi manusia. Dengan mengetahui ilmu fiqih menurut yang dita’rifkan ahli ushul, akan dapat diketahui mana yang disuruh mengerjakan dan mana pula yang dilarang mengerjakannya. Dan mana yang haram, mana yang halal, mana yang sah, mana yang bathal dan mana pula yang fasid, yang harus diperhatikan dalam hal segala perbuatan yang disuruh harus di kerjakan dan yang dilarang harus ditinggalkan.

Ilmu Fiqih yang juga memberi petunjuk kepada manusia tentang pelaksanaan nikah, thalaq, rujuk, dan memelihara jiwa, harta benda serta kehormatan. Juga mengetahui segala hukum – hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia.

Yang dibahas oleh Fiqih adalah perbuatan orang – orang mukallaf, tentunya orang – orang yang telah dibebani ketetapan – ketetapan hukum agama Islam, berarti sesuai dengan tujuannya.

“ Yang di bicarakan oleh Fiqih ( menurut ta’rif ahli ushul ) atau yang dijadikan maudhu’nya ialah segala pekerjaan para mukallaf dari jurusan hukum.

Adapun hasil pembicaraan atau mahmulnya ialah salah satu dari hukum lima, seperti “ perbuatan ini wajib “.

Yang dimaksud dengan salah satu dari hukum lima, ialah dari hukum taklifi yang lima :

1. Iijab ( wajib )

2. Nadab ( anjuran )

3. Tahrim ( haram )

4. Karahah ( menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.

5. Ibahah ( mubah = membolehkan ) dikerjakan atau ditingglkan.

Hukum mempelajari Fiqih

Hukum mempelajari Fiqih itu terbagi kepada dua bagian :

1. Ada ilmu Fiqih itu yang wajib dipelajari oleh seluruh umat Islam yang mukallaf, seperti mempelajari masalah shalat, puasa dan lain – lainnya.

2. Ada ilmu Fiqih yang wajib dipelajari oleh sebagian orang yang ada dalam kelompok mereka ( umat Islam ), seperti mengetahui masalah pasakh, ruju’, syarat – syarat menjadi qadhi atau wali hakim dan lain – lainnya.

Hukum mempelajari Fiqih itu ialah untuk keselamatan di dunia dan akhirat.1)

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pokok bahasan dalam ilmu fiqih ialah perbuatan mukallaf menurut apa yang telah ditetapkan syara’ tentang ketentuan hukumnya. Karena itu dalam ilmu Fiqih yang dibicarakan tentang perbuatan – perbuatan yang menyangkut hubungannya dengan Tuhannya yang dinamakan “ ibadah “ dalam berbagai aspeknya, hubungan manusia sesamanya baik dalam hubungan keluarga, hubungan dengan orang lain dalam bidang kebendaan dan sebagainya.



Pembahasan ushul Fiqih

Untuk mengetahui pembahasan dan pembicaraan dalam ushul Fiqih, terlebih dahulu kita harus mengetahui arti ushul Fiqih , harus kita ketahui arti “ Asal “ dan arti “Furu “.

Asal artinya sumber, dasar, menurut istilah agama asal adalah sesuatu yang menjadi dasar ( sendi ) oleh suatu yang lain, sedangkan furu’ sesuatu yang di letakkan di atas asal tadi, seperti sebuah rumah yang diletakkan di atas sendi, maka sendi disebut asal, sedangkan rumah yang terletak diatasnya disebut Furu’.

Asal menurut istilah terbagi kepada 5 pengertian : kaidah kulliyah, rajih, mustahhab,Maqis alaih dan dalil.

a) kaidah kulliyah ( peraturan umum ), melaksanakan semua peraturan – peraturan yang ditetapkan oleh syara’, kecuali bagi orang yang dalam keadaan terpaksa, seperti boleh memakan bangkai bagi orang – orang yang terpaksa, sedangkan memakan bangkai menurut syara’ hukumnya haram. Firman Allah :

إِنَّمَاحَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ

Artinya :

“ Sesungguhnya diharamkan atas kamu memakan bangkai “.

( QS. Al Qur'an : 173 ).

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ

Artinya :

“ Diharamkan atasmu memakan bangkai darah, dan daging babi”.

( QS. Maidah : 3 ).



b). rajih ( terkuat ), asal pada perkataan seseorang benar menurut orang yang mendengar.

c). mushtashhab : menetapkan hukum sesuatu atas hukum yang telah ada, seperti yakin berwudhu ragu dalam berhadas, tetapi seorang itu dalam keadaan suci.

d) maqis’ alain ( tempat mengqiyaskan ) seperti haram riba pada gandum ( gandum = asal dan padi = furu ).

e). dalil ( alasan ) asal hukum sesuatu karena dalilnya seperti wajib zakat karena firman Allah :

وَءَاتُوا الزَّكَاةَ

Artinya :

“ Tunaikanlah zakat “

( QS. Al-Baqoroh : 43 ).

Jadi yang dikatakan dan dibicarakan dalam ushul fiqih adalah sebagai berikut :

“ Ilmu ushul Fiqih menyelidiki keadaan dalil – dalil syara’ dan menyelidiki bagaimana caranya dalil – dalil tersebut menunjukkan hukum – hukum yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Karena itu, yang dibicarakan oleh ushul Fiqih ialah dalil – dalil syara’ dari segi penunjukannya kepada hukum atas perbuatan orang mukallaf”.2)

Ahli ushul Fiqih berbicara tentang Al Qur'an dan Hadits Qur’an dan sunnah dari segi lafalnya, baik dalam bentuk amar, nahyi,’aam, khas mutlaq, mahfum, maslahatul mursalah, syariat yang di tetapkan bagi umat yang terdahulu, yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum pada setiap ucapan dan perbuatan mukallaf. Demikianlah para ahli ushul, membahas lafal amar dari segi pengertian aslinya yang menunjukkan wajib lafal nahyi dari segi pengertian aslinya yang menunjukkan haram lafal umum ( ‘ aam ) yang pengertiannya meliputi semua yang dapat dimasukkan ke dalam pengertian itu, lafal mutlaq dilaksanakan menurut arti aslinya demikian juga lafal muqayyad. Maka untuk semua itu mereka tuangkan ke dalam kaidah tertentu yang dinamakan kaidah hukum umum ( hukum kulli ) yang diambil dari sumber atau dalil dasar menetapkan hukum pada kasus tertantu. Umpamanya dari kaidah”amar lil wujub “ diterapkan dalam perjanjian bersumber dari ayat yang berbunyi :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Artinya :

“ Hai orang – orang yang beriman, penuhilah aqad – aqad itu ….”

( QS. Al - Maidah : 1 ).

Berdasarkan kaidah amar lil wujub memenuhi janji hukumnya wajib.









Dalam ayat yang berbunyi :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ

Artinya :

“ Hai orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok – olokan kaum yang lain “.

( QS. Al - Hujurat : 11 )

Berdasarkan kaidah umum “ nahyi littahrim “ maka ditetapkan merasa berbangga dan mengolok – olok golongan lain itu hukumnya haram.

Dalam firman Allah yang berbunyi :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ

Artinya :

“Diharamkan bagi kamu ( mengawini ) ibu – ibu …..”

(QS. An- Nissa : 23 ).

Berdasarkan keumuman ayat ini diharamkan mengawini ibu baik ibu kandung maupun ibu susuan.

Dari uraian di atas jelaslah perbedaan antara dalil – dalil kulli dan dalil juz’i hukum kulli dan hukum juz’i dan qiyas. Amar dikatakan hukum kulli karena di dalamnya semua yang menunjukkan larangan. Amar dinamakan dalil kulli dan nash mengandung lafal amar dinamakan dalil juz’i. Demikian juga nahyi dalil kulli dan nash yang mengandung lafal nahyi dinamakan dalil juz’i.

Hukum kulli ialah hukum umum yang masuk ke dalamnya beberapa macam seperti wajib, haram, sah, batal dan sebagainya. Wajib dinamakan hukum kulli karena di dalamnya dapat dimasukkan berbagai perbuatan yang wajib umpamanya wajib menunaikan janji, wajib mengadakan sanki dalam perkawinan. Haram adalah hukum kulli yang masuk ke dalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan seperti haram berbuat zina, haram menuduh berbuat zina, haram mencuri, haram membunuh dan sebagainya dan haram atau wajib yang berlaku pada perbuatan tertentu dinamakan hukum juz’i.

Ahli ushul tidak membahas dalil juz’i dan tidak pula membahas hukum juz’i, namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukum kulli yang mereka letakkan dalam kaidah umum yang nantinya oleh para fuqaha diterapkan pada setiap kasus. Sebaliknya para fuqaha tidak membahas dalil dan hukum kulli, namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukum juz’i.



2. TUJUAN MEMPELAJARI HUKUM FIQIH DAN USHUL FIQIH

Yang menjadi dasar dan pendorong bagi ummat Islam untuk mempelajari Fiqih ialah :

1. untuk mencari kebiasaan faham dan pengertian dari agama Islam.

2. untuk mempelajari hukum – hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia.

3. kaum muslimin harus bertafaqquh Artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum – hukum agama baik dalam bidang aqaid dan akhlak maupun dalam bidang ibadat dan muamalat.

Bertafaqquh fiddin Artinya memperdalam ilmu pengetahuan dalam bidang hukum – hukum agama. Oleh karena demikian sebagian kaum muslimin harus pergi menuntut ilmu pengetahuan agama Islam guna disampaikan pula kepada saudara – saudaranya.

Pendapat itu sesuai dengan perintah Allah di dalam Al Qur'an dan Hadits-Qur’an, antara lain :



فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ(122)

Artinya :

Mengapa tidak pergi dari tiap – tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga darinya.

)QS. At-Taubah : 122)



Oleh karena demikian jelas behwa Tuhan memerintahkan kepada sebagian manusia supaya pergi dari daerahnya untuk menuntut ilmu pengetahuan agama di daerah lain, dan ditugaskan bila dia sudah kembali memberikan peringatan dan ajaran agama Islam kepada kaumnya guna mengertahui dan menjaga batas-batas perintah Tuhan dan larannya-Nya terhadap manusia. Karena itu seharusnyalah sebagian besar umat Islam mempelajari agama Islam secara mendalam. Tuhan akan memberikan rahmat dan keluasan paham di bidang syari’at Islam kepada orang-orang yang dicintanya.

Sehubungan dengan itu Nabi Muhammad saw, telah bersabda :

مَنْ يُرِاللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ

Artinya :

“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah akan diberikan-Nya kabajikan dan keutamaan, niscaya diberikanlan kepadanya keluasan paham dalam agama.”

(HR. Bukhori dan Muslim)



Pendorong yang lain untuk mempelajari fiqih umat Islam berdasarkan pendapat berbentuk sya’ir yang dikemukakan oleh seorang faqih terkenal di antara mujtahidin, yaitu Muhammad Ibnu Hasan, yang berbunyi :

تََفَقَّهُ فَاِنَّ الْفِقْهَ أَفْضَلُ قَائِدًا #

اِلَى البِرِّ وَالتَّْقوَى وَأَعْدَلُ قَاِصِد

Artinya :

“Bertafaqquhlah kamu, sesugguhnya fiqih itu penuntun utama kepada kebaikan dan taqwa dan seutama-utamanya jalan yang menyampaikan kita kepada yang kita maksud”.

وَكُنْ مُشْتَفِيْدًا كُلََّ يَوْمِ زِيَادَةً #

مِنَ الفِقْهِ وَاشْبَحْ فِى بُحُوْرِ اْلفَوَائِدِ

Artinya :

“Hendaklah kamu tiap-tiap hari menuntut kelabihan dari pelajaran fiqih dan bercimpunglah kamu dalam lautan fiqih yang berfaedah.”



Fiqih dalam Islam sangat penting fungsinya karena ia menuntun manusia kepada kebaikan dan bertaqwa kepada Allah. Setiap saat manusia itu mencari atau mempelajari ketuamaan fiqih, karena fiqih, menunjukkan kita kepada sunnah Rasul serta memlihara manusia dari bahaya-bahaya dalam kehidupan. Seorang yang mengatahui dan mengamalkan fiqih akan dapat menjaga diri dari kecemasan dan lebih takut dan disegani oleh musuhnya.

Jelasnya tujuan mempelajari ilmu fiqih adalah merapkan hukum syara’ pada setiap perkataaan dan perbuatan mukallaf, karena itu ketentuan-ketentuan fiqih itulah yang dipergunkan untuk memutuskan segala perkara dan yang menjadi dasar fatwa, dan bagi setiap mukallaf akan mengetahui hukum syara’ pada setiap perbuatan atau perkataaan yang mereka lakukan.

Sedangkan tujuan mempelajari Uhul Fiqh adalah untuk mengatahui hukum-hukum syara’ pada setiap perbuatan atau perkataaan yang mereka lakukan.

Sedangkan tujuan mempelajari ushul fiqih adalah untuk mengatahui hukum-hukum syari’at Islam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan zhan (dugaan, perkiraan), dan untuk menghindari taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alasan-alasannya) hal ini dapat berlaku, kalau memang benar-benar ushul fiqih ini digunakan menurut mestinya, yaitu mengambil hukum soal-soal cabang kepada soal-soal yang pokok atau dengan mengembalikan soal-soal cabang kepada soal-soal pokok. Yang pertama adalah pekerjaan ahli ijtihad (mujahid) dan yang kedua adalah pekerjaan muttabi.

Dengan adanya faedah tersebut, tertolaklah faham sementara orang yang mengatakan, bahwa usul fiqih, adalah pekerjaan orang-orang yang terdahulu saja dalam mencari ketentuan sesuatu hukum, dan bagi kita sekarang hanya mengikuti apa yan telah didapati mereka. Pendapat ini tidak benar, sebab taklid adalah pekerjaan yang harus kita hindari.

Setidak-tidaknya kita harus bisa mencapai derajat ittaba’, yaitu mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui alasan-alasannya.

Sejarah Perkembangan Ilmu Ushul Fiqh

Sumber hukum pada masa Rasulullah SAW hanyalah Al-Qur'an dan As-Sunnah (Al-Hadits). Di antara sunnah-sunnahnya ada yang memberi kesan bahwa beliau melakukan ijtihad. Misalnya, beliau melakukan qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar Bin Khattab RA, sebagai berikut.


Artinya:

"Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar; saya mencium isteri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya : Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu berkumur-kumur dengan air dikala kamu sedang berpuasa? Lalu saya jawab: tidak apa-apa dengan yang demikian itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Maka tetaplah kamu berpuasa!" (I'lamul Muwaqqi'in, Juz: I, hal: 199).

Pada hadits di atas Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium isterinya dengan mengqiyaskan kepada tidak batal puasa seseorang karena berkumur-kumur.

Juga seperti hadits Rasulullah SAW :


Artinya :

"Seandainya tidak akan memberatkan terhadap umatku, niscaya kuperintahkan kepada mereka bersiwak (bersikat gigi) setiap akan melakukan shalat." (HR. Abu Daud dari Zaid Bin Khalid al-Juhanni).

Diterangkan oleh Muhammad Ali as-Sayis, bahwa hadits tersebut menunjukkan kepada kita adanya pilihan Rasulullah SAW terhadap salah satu urusan, karena untuk menjaga kemaslahatan umatnya. Seandainya beliau tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, hal itu tidak akan terjadi. Dalam pada itu, dari penelitian sebagian ulama terhadap berbagai peristiwa hidup Rasulullah SAW, berkesimpulan bahwa beliau bisa melakukan ijtihad dan memberi fatwa berdasarkan pendapatnya pribadi tanpa wahyu, terutama dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan persoalan hukum. Kesimpulan tersebut, sesuai dengan sabda beliau sendiri :


Artinya :

"Sungguh saya memberi keputusan diantara kamu tidak lain dengan pendapatku dalam hal tidak diturunkan (wahyu) kepadaku." (HR. Abu Daud dan Ummi Salamah).

Rasulullah SAW adalah seorang manusia juga sebagaimana manusia yang lain pada umumnya maka hasil ijtihadnya bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau bersabda :


Artinya :

"Saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar; dan segala yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah bisa benar." (Ijtihad Rasul, hal: 52-53).

Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah, Allah menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar.

Sebagai contoh hasil ijtihad beliau tentang tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau menanyakan terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka (para tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bin Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur'an yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar, yakni :


Artinya :

"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (Al-Anfaal: 67).

Jika terhadap hasil ijtihad Rasulullah SAW tersebut, tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan sudah barang tentu termasuk ke dalam kandungan pengertian As-Sunnah (Al-Hadits).

Kegiatan ijtihad pada masa ini, bukan saja dilakukan oleh beliau sendiri, melainkan beliau juga memberi ijin kepada para sahabatnya untuk melakukan ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau dalam menghadapi suatu persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terjadi ketika beliau mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, yang diterangkan dalam hadits sebagai berikut :


Artinya :

"(Rasulullah SAW bertanya) : Bagaimana cara kamu memutusi jika datang kepadamu suatu perkara? Ia menjawab : Saya putusi dengan (hukum) yang terdapat dalam kitab Allah. Beliau bertanya : Jika tidak kamu dapati (hukum itu) dalam kitah Allah? Ia menjawab : Maka dengan Sunnah Rasulullah. Beliau bertanya : Jika tidak kamu dapati dalam Sunnah Rasulullah juga dalam kitab Allah? Ia menjawab : Saya akan berijtihad dengan pikiran dan saya tidak akan lengah. Kemudian Rasulullah SAW menepuk dadanya dan bersabda : Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah SAW yang diridlai oleh Rasulullah." (HR. Abu Daud).

Bahkan beliau pernah memerintahkan 'Amr bin 'Ash untuk memberi keputusan terhadap suatu perkara, padahal beliau di hadapannya. Atas perintah itu, lalu 'Amr bertanya kepada beliau :

Sebagai contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat, yakni ijtihad yang dilakukan oleh 'Amar bin Yasir, sebagai berikut :

Artinya:

"Saya telah berjunub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling pada debu kemudian saya mengerjakan shalat. Lalu hal itu, saya sampaikan kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda : Sesungguhnya cukup kamu melakukan begini : Nabi menepuk tanah dengan dua telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu menyapukannya ke wajahnya dan dua telapak tanganya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada hadits di atas, 'Ammar bin Yasir mengqiyaskan debu dan air untuk mandi dalam menghilangkan junubnya, sehingga ia dalam menghilangkan junub karena tidak mendapatkan air itu, dilakukan dengan berguling-guling di atas debu. Namun hasil ijtihadnya ini tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW.

Hasil ijtihad para sahabat tidak dapat dijadikan sumber hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang dapat dipedomani oleh kaum muslimin, kecuali jika hasil ijtihadnya telah mendapat pengesahan atau pengakuan dari Rasulullah SAW dan tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkannya.

Dari uraian di atas dapat dipetik arti bahwa ijtihad baik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun oleh para sahabatnya pada masa ini tidak merupakan sumber hukum, karena keberadaan atau berlakunya hasil ijtihad kembali kepada wahyu.

Akan tetapi dengan adanya kegiatan ijtihad yang terjadi pada masa ini, mempunyai hikmah yang besar, karena hal itu merupakan petunjuk bagi para sahabat dan para ulama dari generasi selanjutnya untuk berijtihad pada masa-masanya dalam menghadapi berbagai persoalan baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW atau yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.

Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hak mut'ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :


Artinya :

"Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan." (Al-Baqarah : 236).

Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al- Hadits, mempunyai ketajaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.

Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.

Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.

Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.

Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.

Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.

Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.

Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.

Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.

Pembahasan tentang Ilmu Ushul Fiqh ini, kemudian dilanjutkan oleh para ulama generasi selanjutnya.